IMG-LOGO
Home National Pembahasan Revisi UU TNI di Hotel Mewah Picu Kontroversi, Sejumlah Akademis Nilai Langgar HAM dan Kebebasan Akademik
national | pemerintah

Pembahasan Revisi UU TNI di Hotel Mewah Picu Kontroversi, Sejumlah Akademis Nilai Langgar HAM dan Kebebasan Akademik

oleh VNS - 16 Maret 2025 22:29 WITA
IMG
FOTO : Poster penolakan Revisi UU TNI yang disuarakan aktivis dan akademisi dari CALS, KIKA, PSHK Indonesia, dan SPK. (IST)

POPNEWS.ID -  Pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dilakukan secara tertutup di sebuah hotel mewah di Jakarta menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.

Akademisi dan aktivis yang tergabung dalam berbagai organisasi, seperti Centre for Indonesian Law and Society (CALS), Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK Indonesia), serta Solidaritas Perempuan untuk Keadilan (SPK), menyoroti kurangnya transparansi dalam proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik.

Suara penolakan mereka secara kompak diutarakan melalui platform diskusi digital yang disiarankan langsung di YouTube @kaukusindonesiakebebasanak111, Minggu, pukul 17.00 Wita tadi. Dalam diskusi itu, Satria U.W.P selaku akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UNMUH) dan bagian Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan kekhawatiran pemberangusan kegiatan akademik. Ditekankannya, kalau hal tersebut sangat mungkin terjadi ketika revisi UU TNI diselesaikan.

“Padahal UU sebelumnya merupakan amanah reformasi 1998. Kita banyak belajar dari peristiwa sejarah orde baru dan tidak ingin mengulang peristiwa buruk itu. Apalagi saat masyarakat sipil kampus dan elemen masyarakat tidak diikutkan (dalam pembahasan revisi UU TNI),” tambahnya.

Selain Satria, kegelisahan dan penolakan juga serentak disuarakan Saiful Mahdi (ICAIOS/UNSYIAH/KIKA Chapter Aceh), Elvira Rumkabu (Papua Democratic Institute/ KIKA Chapter Papua), Bivitri Susanti (STHI jentera/CALS), Herdiansyah “Castro” Hamzah (Univ. Mulawarman/CALS), Susi Dwi Harijanti (Guru Besar FH Unpad/CALS) dan Fajri Nursyamsi (PSHK Indonesia).

Dalam kerangka penolakan bersama, para aktivis dan akademisi ini sepakat kalau Revisi Undang-Undang No.34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dilakukan secara diam-diam antara Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR-RI bersama dengan Pemerintah bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa perlu menolak revisi UU TNI yang menimbulkan polemik di masyarakat.

Pertama, DPR-RI dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi.

“Revisi UU TNI justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas/kekebalan hukum anggota TNI. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan,” jelas para aktivis dan akademisi tersebut.

Kedua, Revisi UU TNI tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.

Draf revisi ini dinilai bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil.

Ketiga, impunitas akan berpengaruh terhadap tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi. Hal tersebut mengancam kebebasan sipil dan demokrasi, karena masyarakat mungkin merasa tertekan untuk tidak menyuarakan pendapat, serta kritik yang bertujuan agar Indonesia tetap on the track kepada nilai konstitusional, HAM, dan demokrasi. Dampak impunitas juga berpengaruh terhadap kekuatan politik yang ada, di mana aktor-aktor politik yang terlibat dalam pelanggaran HAM masih memiliki posisi kekuasaan. Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan menghasilkan keputusan yang bias.

Keempat, Revisi UU TNI ini justru akan semakin melemahkan profesionalisme militer. Ada potensi pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil, yang ditandai dengan:

(1) Memperpanjang masa pensiun, menambah persoalan penumpukan perwira Non Job dan Penempatan Ilegal Perwira Aktif di Jabatan Sipil;

(2) Perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif, mengancam supremasi sipil, menggerus profesionalisme dan independensi TNI;

(3)Membuka ruang ikut campur ke wilayah politik keamanan negara;

(4) Menganulir suara rakyat melalui DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang.

Kelima, impunitas juga berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap situasi kebebasan akademik di Indonesia. Dampak impunitas juga menjadikan serangan yang sistematis terhadap insan akademik, melalui sweeping buku-buku kiri, pembubaran diskusi berkaitan isu Papua dan keamanan nasional, serta berbagai tindakan represi lainnya menjadikan situasi kebebasan akademik semakin memprihatinkan.

Keenam, menjadi sangat bermasalah ketika melihat alasan DPR dan pemerintah menggelar rapat pembahasan RUU TNI di hotel secara tertutup. Selain bertolak belakang dengan kebijakan negara mengenai efisiensi, juga terkait dengan pasal dan substansinya yang jauh dari upaya semangat menghapus dwifungsi militer. Dari enam poin penolakan yang disuarakan secara serempak, para aktivis dan akademisi dari CALS, KIKA, PSHK Indonesia, dan SPK menyatakan sikap sebagai berikut :

1. Menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan sembunyi-sembunyi dan bertentangan dengan prinsip hukum dan HAM.

2. Menolak bangkitnya Dwi Fungsi ABRI yang semakin melanggengkan impunitas dari TNI dengan cara pengisian jabatan sipil dari TNI aktif.

3. Masyarakat sipil bersatu memberikan desakan kepada DPR-RI dan Pemerintah agar menjalankan konstitusi dan ketentuan hukum HAM dengan menolak revisi UU TNI.

4. Demikian pernyataan ini kami sampaikan, semoga dapat menjadi perhatian semua pihak, khususnya bagi DPR-RI dan Pemerintah untuk memperhatikan masukan dan suara masyarakat sipil yang menolak kembalinya Dwi Fungsi TNI yang bertentangan dengan spirit pemajuan demokrasi dan perlindungan HAM, serta kebebasan akademik. Terima kasih.

Sebagai penutup, Herdiansyah Hamzah mengutip pesan Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno, dalam pidatonya pada peringatan kemerdekaan tahun 195.

“Angkatan perang! Tidak boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh sesuatu politik, angkatan perang harus berjiwa, ya berjiwa, berapi-api berjiwa, berkobar-kobar berjiwa tetapi ia tidak boleh ikut-ikut politik.” seru Herdiansyah Hamzah alias Castro diakhir diskusi mengutip pesan Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno dalam pidato peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-8 pada 17 Agustus 1953.

Pernyataan ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga netralitas militer dan menegaskan bahwa supremasi sipil adalah prinsip utama dalam negara demokrasi.

(Redaksi)