POPNEWS.ID - Kontroversi Tarian Bagi-Bagi THR, Ketika Budaya Pop Bertemu Disinformasi Digital Tren tarian viral seperti bagi-bagi THR meramaikan suasana Lebaran 2025 di Indonesia.
Namun, di balik gelak tawa dan musik ceria, perdebatan soal asal-usul tarian ini justru menyeret publik pada pusaran disinformasi digital yang mencampuradukkan budaya, sejarah, dan sentimen keagamaan.
Hari Raya Idul Fitri di Indonesia tahun ini diramaikan oleh berbagai ekspresi budaya pop yang mencuri perhatian . Salah satunya adalah tren tarian “bagi-bagi THR” yang mendadak viral di berbagai platform media sosial.
Namun, euforia itu berubah menjadi perdebatan ketika muncul klaim bahwa gerakan tarian tersebut meniru tarian bangsa Yahudi, khususnya tarian Hora.
Klaim tersebut disebarkan oleh salah satu akun media sosial yang menyebut bahwa musik dan gerakan tarian THR berasal dari “tradisi Yahudi.”
Tanpa dasar ilmiah atau referensi budaya yang jelas, unggahan itu memicu keresahan dan reaksi emosional dari sebagian pengguna internet.
Menanggapi kontroversi tersebut, influencer Bunda Corla turun tangan dengan menyatakan bahwa tarian tersebut sebenarnya merupakan turunan dari tarian Letkajenkka atau Letkiss dari Finlandia, yang populer pada era 1960-an.
“Ini tarian pesta remaja zaman dulu, bukan tarian ritual atau tradisi keagamaan. Jangan sebar fitnah hanya karena tidak suka,” tulis Bunda Corla di akun Instagram @corla_2.
Melacak Jejak Budaya: Letkiss, Bunny Hop, hingga Hora
Penelusuran lebih dalam menunjukkan bahwa gerakan tarian yang viral saat ini memiliki kemiripan kuat dengan tarian Letkiss dari Finlandia—tarian barisan penuh semangat yang berasal dari adaptasi tarian Bunny Hop di Amerika tahun 1950-an.
Letkajenkka adalah bentuk musik rakyat modern Finlandia yang diiringi gerakan berbaris, mengayunkan kaki ke kanan dan kiri secara serentak, dan sering dimainkan dalam suasana pesta remaja. Tarian ini kemudian dikenal luas di Eropa, termasuk dengan nama lain seperti Penguin Dance di Rumania.
Sementara itu, tarian Hora Yahudi memiliki ciri khas berbeda: dilakukan dalam lingkaran, berpegangan tangan, dan merupakan simbol perayaan serta solidaritas budaya Yahudi, khususnya saat pernikahan atau perayaan keagamaan.
Meski keduanya sama-sama berbentuk tarian kelompok, akar historis, makna simbolik, dan bentuk gerakan dari Letkiss dan Hora sangat berbeda.
Pengamat budaya digital menyebut bahwa fenomena ini adalah contoh klasik bagaimana budaya populer bisa dimanipulasi lewat narasi identitas yang sempit.
Tanpa kajian dan pemahaman lintas budaya, tren yang seharusnya menyatukan justru menjadi pemicu polarisasi.
Sosiolog dari Universitas Indonesia menekankan pentingnya literasi budaya digital.
“Kita perlu menyadari bahwa budaya itu dinamis dan saling memengaruhi. Jangan sampai salah paham soal musik dan tarian memicu stigma atau kebencian berbasis identitas.”
Hingga kini belum ada bukti kuat bahwa tarian THR berasal dari tradisi ritual agama tertentu.
Sebaliknya, banyak fakta mendukung bahwa tarian ini adalah bagian dari warisan budaya populer global yang mengalami daur ulang oleh generasi digital.
Karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang mempolitisasi budaya, serta mencari informasi dari sumber yang kredibel sebelum menyebarkan opini yang berpotensi menyesatkan.
(Redaksi)