POPNEWS.ID - Konflik antara Yayasan Melati dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) terus memanas.
Sengketa ini bukan sekadar soal administratif, melainkan juga menyentuh aspek etika dalam pengelolaan aset pendidikan yang berdampak langsung pada proses belajar siswa.
Ketua Yayasan Melati, Ida Farida, menegaskan bahwa tindakan pengosongan ruang-ruang sekolah yang dilakukan secara sepihak tanpa kesepakatan bersama telah mengganggu aktivitas belajar mengajar dan melanggar hak siswa.
“Bangunan ini dibangun atas nama yayasan dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang kami ajukan sendiri. Jadi, atas dasar apa Pemprov mengklaim bisa mengambil alih ruang-ruang tersebut?” ujar Ida saat ditemui di Kampus Melati, Kamis (26/6).
Polemik berawal dari surat Pemprov pada 11 Juni 2025 yang menyatakan niat menggunakan ruang kelas untuk kebutuhan SMA Negeri 10 Samarinda.
Yayasan membalas surat tersebut dengan keberatan karena belum ada perjanjian kerja sama, sementara ruang-ruang tersebut masih aktif digunakan oleh 420 siswa dari tiga jenjang pendidikan.
Namun, lima hari kemudian, Pemprov kembali mengirim surat permintaan pengosongan ruangan.
Pada 25 Juni 2025, sejumlah pintu kelas dan ruang kepala sekolah dilaporkan dibongkar secara sepihak.
“Kami sangat menyayangkan langkah ini, terutama setelah proses verifikasi aset pada 4 Juni yang kami harapkan berlanjut dengan dialog dan appraisal, malah berakhir dengan pembongkaran,” tambah Ida.
Salah satu titik utama konflik adalah kepemilikan lahan dan bangunan.
Meskipun tanah merupakan hak pakai Pemprov, bangunan dan fasilitas dibangun menggunakan dana dan izin dari Yayasan Melati.
Yayasan menganggap hal ini sebagai dasar kuat untuk mempertahankan penggunaan ruang tersebut.
Pembina Yayasan Melati, Yusan Triananda, menambahkan bahwa sejak awal pihaknya membuka pintu dialog, namun merasa dikejutkan dengan pendekatan sepihak Pemprov.
“Awalnya kami diberi tahu bangunan akan digunakan oleh Taruna Borneo, lalu berubah menjadi SMA 10. Kalau memang ingin digunakan, mengapa tidak duduk bersama dulu? Ini adalah lembaga pendidikan, bukan bangunan kosong,” tegas Yusan.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya koordinasi teknis seperti aliran listrik dan pasokan air yang belum dibicarakan dengan baik.
Yayasan Melati menegaskan tidak menolak program pemerintah, tetapi menginginkan penghormatan dan
keadilan dalam pengelolaan aset pendidikan yang berdampak pada masa depan siswa.
Pemprov Kaltim hingga saat ini belum memberikan penjelasan resmi terkait dasar hukum pengosongan ruang tersebut.
Meski ada klaim bahwa Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaltim, Armin, akan bertanggung jawab, namun belum ada penjelasan resmi soal dasar hukum pengosongan itu. (*)